Di berbagai diskusi tentang kesehatan Indonesia, nama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selalu muncul, seringkali disertai narasi tentang “kekuasaan” atau “dominasi” mereka di dunia medis. Namun, apakah kekuasaan IDI ini sekadar mitos yang berkembang di masyarakat, atau sebuah fakta yang memang terbukti dalam setiap kebijakan dan praktik kedokteran?
Fakta di Balik Kewenangan Tunggal
Kekuasaan IDI bukanlah sekadar mitos, melainkan berakar pada kewenangan hukum yang melekat padanya. Berdasarkan Undang-Undang Praktik Kedokteran, IDI adalah satu-satunya organisasi profesi yang berhak memberikan rekomendasi izin praktik (SIP) kepada para dokter. Tanpa rekomendasi dari IDI, seorang dokter tidak dapat secara legal berpraktik di Indonesia. Ini adalah fakta fundamental yang menempatkan IDI di posisi sentral.
Selain itu, IDI juga memiliki otoritas dalam:
- Pengaturan etika dan disiplin profesi melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), yang bisa memberikan sanksi hingga pencabutan izin praktik.
- Pengembangan berkelanjutan profesi, termasuk penentuan Satuan Kredit Profesi (SKP) yang wajib dikumpulkan dokter untuk perpanjangan Surat Tanda Registrasi (STR).
- Pengawasan standar pendidikan kedokteran, memastikan kualitas lulusan dan relevansi kurikulum.
Kewenangan-kewenangan ini secara kolektif memberikan IDI pengaruh yang sangat besar terhadap rekam jejak karier setiap dokter, dari mulai lulus hingga pensiun.
Mitos atau Interpretasi Atas Dominasi?
Meski fakta kewenangan IDI tak terbantahkan, narasi “dominasi” seringkali diinterpretasikan secara berlebihan, bahkan menjadi mitos yang menyimpang dari esensi peran IDI. Beberapa interpretasi yang sering muncul dan perlu dikaji ulang adalah:
- IDI menghambat inovasi: Kritik ini muncul ketika IDI bersikap hati-hati terhadap teknologi baru seperti telemedicine atau AI. Padahal, kehati-hatian IDI seringkali didasari oleh keinginan untuk memastikan keamanan pasien dan standar etika tetap terjaga di tengah inovasi.
- IDI hanya membela kepentingan finansial dokter: Setiap penolakan IDI terhadap kebijakan yang dianggap merugikan seringkali diartikan sebagai upaya mempertahankan status quo atau keuntungan finansial. Namun, IDI berargumen bahwa mereka membela kualitas profesi dan pelayanan yang secara tidak langsung akan berdampak baik bagi publik.
- IDI tidak transparan: Meskipun ada kritik terkait transparansi, perlu diingat bahwa sebagai organisasi profesi, IDI memiliki mekanisme internal yang diatur oleh anggotanya. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan keterbukaan ini kepada publik yang lebih luas.
Kekuasaan yang Bertanggung Jawab
Pada akhirnya, kekuasaan IDI adalah fakta yang tidak bisa diabaikan. Ini adalah kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang dan kepercayaan publik terhadap otoritas profesional. Namun, kekuasaan ini datang dengan tanggung jawab besar.
IDI tidak dapat menggunakan kewenangannya semata-mata untuk kepentingan internal tanpa mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat luas. Justru, dominasinya di dunia medis harus dimanfaatkan untuk:
- Mendorong inovasi yang bertanggung jawab.
- Meningkatkan kualitas dan pemerataan layanan kesehatan di seluruh Indonesia.
- Menjadi mitra strategis pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
- Terus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kepada publik.
Dengan demikian, kekuasaan IDI akan menjadi aset berharga, bukan mitos yang memicu kecurigaan, melainkan fakta yang memberikan harapan bagi masa depan kesehatan Indonesia.
No responses yet